ini juga artikel saia tahun lalu ke mojok.co yang gagal tayang dan sekali lagi belum memenuhi kriteria mereka. jadi saia posting disini ajah, karena sekali lagi saia masih percaya: seburuk apapun tulisan tetap harus disebarkan. karena begitulah cara manusia membangun peradaban…
Ada satu masa ketika Kita akrab dengan istilah Jum’at Keramat yang sangat identik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada hari Jum’at itu KPK kerap mewartakan hasil operasi tangkap tangan atau mengumumkan nama-nama tersangka baru (yang biasanya langsung ditahan).
Namun di tahun pandemi ini, ada yang baru pada Jum’at Keramat. Tak lagi melekat di KPK tapi mampir ke Partai Demokrat. Yup, Jumat 5 Maret 2021 ada Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang –konon dari berita yang saya baca- berlangsung dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hasilnya: KLB berhasil mengkudeta mas AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dari tahtanya dan mendapuk Jenderal Moeldoko di atas singgasana.
KLB Demokrat Jum’at lalu, yang oleh Kepala Suku MOJOK, PUTHUT EA, disebut sebagai Geger Gedhen dan akan menyisakan kisah yang berlarat-larat ini sebenarnya telah jamak terjadi sepanjang sejarah perjalanan Republik ini. Hampir di setiap rezim selalu ada. Tak perlu disebutkan, cukup googling saja.
Yang membedakan hanya seputar metode, latar belakang cerita dan balutan dramanya. Oh ya, dan tentu saja berbeda juga medium dan ekspresi kegaduhan cheerleaders nya..
Jika boleh menyebut, contoh terdekat –meski tak dekat-dekat amat- adalah kisruh di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kemudian akan menjelma menjadi PDI Perjuangan. Keterpilihan Ibu Megawati di masa Orde Baru saat itu kurang berkenan di hati penguasa, lalu timbul ontran-ontran yang memunculkan nama kubu PDI Soerjadi. Tentu saja, kubu terakhir yang kemudian sah dan direstui oleh pemerintah. Butuh tumbangnya rezim dan momentum bernama Reformasi, hingga akhirnya PDI Perjuangan bisa eksis dan –kini- menjadi partai penguasa.
Setelah masa Reformasi, peristiwa serupa masih terus berulang. Dan nyaris di semua kejadian, pendulum kebisingan akan berhenti di pihak yang “direstui” oleh kekuasaan. Zaman berubah, masa berganti, tapi restu kuasa tetap menjadi kunci . Jadi gak usah bucin deh, direstui calon mertua itu hanya penting buat kamu, tapi tidak untuk Republik ini!
Dari sana kita bisa menebak, perang-perangan ini akan sangat mungkin dimenangkan oleh pihak yang dekat dan mendapat restu pemerintah.
Maka wajar kiranya jika Penasbihan Pak Moel yang kebetulan Kepala Staf Kepresidenan dan bukan kader Partai Demokrat, menyisakan sejumlah pertanyaan — jika bukan kecurigaan. Tanpa bermaksud suudzon, namun jika berkaca dari masa lalu -entah bagaimana pun dramanya- rasanya kita sudah bisa menebak akhir cerita.
Selain perang tagar, berbagai komentar dan analisa lalu bermunculan. Yang menarik adalah, tentang kalkulasi kekuatan Partai Koalisi Pemerintah di Parlemen jika “kudeta” di Partai Demokrat ini berjalan mulus. Kalo tak salah ingat, kekuatannya menjadi lebih dari 80 persen. Capaian yang melebihi suara Golkar di masa kedigdayaan Orde Baru.
Hitung-hitungan itu mengingatkan saya pada kabar-kabar yang beredar sebelum peristiwa KLB Jum’at Keramat. Ada isu kudeta yang hampir berbarengan dengan rilisan Survei Calon Presiden Terpopuler yang masih menempatkan nama Pak Jokowi di urutan pertama. Sebelumnya, juga ada wacana masa jabatan Presiden tak cukup dua kali. Tiga periode lebih baik.
Salahkah jika kemudian kita menduga bahwa “kudeta” ini adalah pembuka jalan lempang Amandemen Undang-Undang Dasar?
Jika kecurigaan itu benar, tentu sangat mengkhawatirkan, karena pembatasan kekuasaan merupakan salah satu semangat yang diusung reformasi. Apalagi jika kita baca narasi yang kemudian muncul setelah segala hiruk pikuk itu: demi stabilitas politik nasional. Jargon yang juga sangat familiar didengungkan pada masa Orde Baru berkuasa.
Jaman boleh berubah masa terus berganti, tapi sejauh 23 tahun reformasi, rasanya kita belum beranjak ke mana-mana. Kegaduhan yang terjadi di setiap rezim dengan tema dan plot cerita yang hampir sama seperti mengajarkan bahwa Kita tidak sedang berada di depan Gerbang4.0. Negeri ini sekedar mengikuti irama jaman, bukan melakukan lompatan peradaban.
Atau jangan-jangan begitulah watak dasar bangsa ini: tak sanggup dengan kebisingan demokrasi dan jauh di lubuk hati paling dalam, diam-diam mengidamkan sebuah republik rasa kerajaan.
*Rebahan lagi aja yuk, sambil nunggu akhir ceritanya…