masihkah percaya
masihkah percaya
masihkah percaya
masih ADA kah?
masihkah percaya
masihkah percaya
masihkah percaya
masihkah percaya
masih
kah?
masihkah percaya
masihkah percaya
masihkah percaya
masih ADA kah?
masihkah percaya
masihkah percaya
masihkah percaya
masihkah percaya
masih
kah?
ini juga artikel saia tahun lalu ke mojok.co yang gagal tayang dan sekali lagi belum memenuhi kriteria mereka. jadi saia posting disini ajah, karena sekali lagi saia masih percaya: seburuk apapun tulisan tetap harus disebarkan. karena begitulah cara manusia membangun peradaban…
Ada satu masa ketika Kita akrab dengan istilah Jum’at Keramat yang sangat identik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada hari Jum’at itu KPK kerap mewartakan hasil operasi tangkap tangan atau mengumumkan nama-nama tersangka baru (yang biasanya langsung ditahan).
Namun di tahun pandemi ini, ada yang baru pada Jum’at Keramat. Tak lagi melekat di KPK tapi mampir ke Partai Demokrat. Yup, Jumat 5 Maret 2021 ada Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang –konon dari berita yang saya baca- berlangsung dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hasilnya: KLB berhasil mengkudeta mas AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dari tahtanya dan mendapuk Jenderal Moeldoko di atas singgasana.
KLB Demokrat Jum’at lalu, yang oleh Kepala Suku MOJOK, PUTHUT EA, disebut sebagai Geger Gedhen dan akan menyisakan kisah yang berlarat-larat ini sebenarnya telah jamak terjadi sepanjang sejarah perjalanan Republik ini. Hampir di setiap rezim selalu ada. Tak perlu disebutkan, cukup googling saja.
Yang membedakan hanya seputar metode, latar belakang cerita dan balutan dramanya. Oh ya, dan tentu saja berbeda juga medium dan ekspresi kegaduhan cheerleaders nya..
Jika boleh menyebut, contoh terdekat –meski tak dekat-dekat amat- adalah kisruh di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kemudian akan menjelma menjadi PDI Perjuangan. Keterpilihan Ibu Megawati di masa Orde Baru saat itu kurang berkenan di hati penguasa, lalu timbul ontran-ontran yang memunculkan nama kubu PDI Soerjadi. Tentu saja, kubu terakhir yang kemudian sah dan direstui oleh pemerintah. Butuh tumbangnya rezim dan momentum bernama Reformasi, hingga akhirnya PDI Perjuangan bisa eksis dan –kini- menjadi partai penguasa.
Setelah masa Reformasi, peristiwa serupa masih terus berulang. Dan nyaris di semua kejadian, pendulum kebisingan akan berhenti di pihak yang “direstui” oleh kekuasaan. Zaman berubah, masa berganti, tapi restu kuasa tetap menjadi kunci . Jadi gak usah bucin deh, direstui calon mertua itu hanya penting buat kamu, tapi tidak untuk Republik ini!
Dari sana kita bisa menebak, perang-perangan ini akan sangat mungkin dimenangkan oleh pihak yang dekat dan mendapat restu pemerintah.
Maka wajar kiranya jika Penasbihan Pak Moel yang kebetulan Kepala Staf Kepresidenan dan bukan kader Partai Demokrat, menyisakan sejumlah pertanyaan — jika bukan kecurigaan. Tanpa bermaksud suudzon, namun jika berkaca dari masa lalu -entah bagaimana pun dramanya- rasanya kita sudah bisa menebak akhir cerita.
Selain perang tagar, berbagai komentar dan analisa lalu bermunculan. Yang menarik adalah, tentang kalkulasi kekuatan Partai Koalisi Pemerintah di Parlemen jika “kudeta” di Partai Demokrat ini berjalan mulus. Kalo tak salah ingat, kekuatannya menjadi lebih dari 80 persen. Capaian yang melebihi suara Golkar di masa kedigdayaan Orde Baru.
Hitung-hitungan itu mengingatkan saya pada kabar-kabar yang beredar sebelum peristiwa KLB Jum’at Keramat. Ada isu kudeta yang hampir berbarengan dengan rilisan Survei Calon Presiden Terpopuler yang masih menempatkan nama Pak Jokowi di urutan pertama. Sebelumnya, juga ada wacana masa jabatan Presiden tak cukup dua kali. Tiga periode lebih baik.
Salahkah jika kemudian kita menduga bahwa “kudeta” ini adalah pembuka jalan lempang Amandemen Undang-Undang Dasar?
Jika kecurigaan itu benar, tentu sangat mengkhawatirkan, karena pembatasan kekuasaan merupakan salah satu semangat yang diusung reformasi. Apalagi jika kita baca narasi yang kemudian muncul setelah segala hiruk pikuk itu: demi stabilitas politik nasional. Jargon yang juga sangat familiar didengungkan pada masa Orde Baru berkuasa.
Jaman boleh berubah masa terus berganti, tapi sejauh 23 tahun reformasi, rasanya kita belum beranjak ke mana-mana. Kegaduhan yang terjadi di setiap rezim dengan tema dan plot cerita yang hampir sama seperti mengajarkan bahwa Kita tidak sedang berada di depan Gerbang4.0. Negeri ini sekedar mengikuti irama jaman, bukan melakukan lompatan peradaban.
Atau jangan-jangan begitulah watak dasar bangsa ini: tak sanggup dengan kebisingan demokrasi dan jauh di lubuk hati paling dalam, diam-diam mengidamkan sebuah republik rasa kerajaan.
*Rebahan lagi aja yuk, sambil nunggu akhir ceritanya…
wus sawetara wektu
nanging rasanè, sliramu tansah ning kéné
tan kendhat kumlebat ing mripat
mbeksa, mring sasana soca
pepinginku nyuda wektu
menggak utering bawana cakra
nyigreg titis tumetesing waspa
datan teka kidung wilapa
duh, lestyaning puji
pusparini kang memetri ati
aja lunga, datan moksa
ngarumpaka sajroning driya
#imlek2020
kolam ikan | pelepas lelah jiwa sehari & penghibur diri
Mungkin tak banyak yang tahu, selain Goa Kreo, Waduk Jatibarang, Omah Alas dan selfie booth “Di Atas Awan”, Desa Wisata Kandri juga juga memiliki destinasi wisata edukasi (sejarah) berupa Yoni atau kadang disebut “watu lumpang”. Tepatnya di RT. 05/ RW. 01 Kelurahan Kandri, di sebuah homestay tak jauh dari Balé Kelurahan Kandri. berikut cerita tentang keberAdaan yoni di situ. Sugeng midangetaken…
Sekira dua tahun silam, saat belum bara (merantau) ke Jakarta, saia – dibantu pak lik yoyok – bikin kolam ikan kecil di léngkong kiwa rumah. Rumah keluarga itu – kini semenjak jadi homestay, karena Kandri jadi Desa Wisata- kami sebut #omahkawaluyan (sorry, promo.. :D)
Dan seperti lazimnya omah kampung tahun ’80 an, berdenah persegi panjang 6×12 m’ plus teras 2m’ di bagian depan. Tak seperti di perumahan, rumah kami menyisakan pekarangan di sekeliling bangunan. Orang Jawa menyebutnya léngkong untuk sisa tanah di sisi kiri dan kanan ( kiwa & tengen) bangunan.
Kolam itu ada di léngkong kiwa yang kebetulan hanya menyisakan 1 m’ lahan dengan batas tetangga. Jadi cuman selebar itu pula dimensi kolamnya. tapi lumayanlah kalo sekedar buat miara beberapa ikan koi sebagai pelepas kejenuhan rutinitas. Kalo panjenengan juga pengen memanfaatkan lahan sempit untuk menyalurkan hasrat miara ikan, mungkin kolam ini bisa jadi inspirasi :p
Setelah berdiskusi dengan banyak orang, termasuk mandor Arifin & mas PM Bhartanto tentang teknis filterisasi dan seterusnya dan sebagainya, akhirnya kolam itu mulai dieksekusi. Saia share layoutnya, siapa tau berguna.
Hardjaloka | kolam léngkong kiwa
Tak perlu saia uraikan teknis pembuatan kolam yang baik & benar, karena melimpah ruah dan mudah panjenengan gugling di ruang maya. yang perlu diingat, pada tahap ini panjenengan harus hati-hati. karena sedikit saja kecerobohan akan membuat anda menyesal, setidaknya sampai dua tahun kemudian. seperti saia 😀
Secara teknis, kolam ikan yang baik –konon- harus memiliki sirkulasi air yang baik. Sebagai tukang kolam newbie, saia kepikiran untuk menambahkan semacam pancuran sebagai sistem sirkulasi. Selain demi alasan teknis, suara gemericik air nampaknya juga akan terdengar sangat eksotis bagi kuping saia.
Oke, Fix. Pancuran. Tapi bagaimana bentuknya? Saia gak pingin cuman sekedar pipa paralon menjulang yang terus cuman keluar air gitu aja. Udah bosen, keseringan liat pipa PVC bermacam ukuran di kerjaan. Hehee…
Ngobrol sana-sini, diskusi, ada yang ngusulin patung ikan, arca wanita hingga duplikasi patung merlion singapura. tapi saia malah keingetan Yoni. damn!
Yup, Yoni merupakan landasan lingga yang kerap diartikan sebagai pralambang kesuburan. Pada umumnya berdenah bujur sangkar, sekeliling badannya terdapat pelipit-pelipit dan di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat. Penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca.
Sebenernya ini memori lama yang –entah mengapa- masih tertanam di kepala. Waktu SD, di rumah penduduk dekat sekolah ada lumpang watu kuna yang buat nanem bunga. Seiring waktu (dan nambahnya ilmu) saia percaya itu yoni. Karena meski bentuknya sudah tak utuh, pahatan sekelilingnya tampak rapi dan berbentuk “profilan”. Beda dengan lumpang watu milik simbah, yang sekeliling badannya rata saja.
Sejak itu saia percaya, peradaban kampung Kandri ini bukan “baru saja”. Dan saia yakin, ada sisa peradaban lama yang masih tertinggal di sini. Mulailah saia –meski tak menggebu- berburu informasi tentang jejak “tinggalan lama” yang ada di kampung ini. Sungguh tak mudah, karena sudah tak ada jejak kasat mata yang bisa dijumpai. Hufft…
Hingga secercah harap terdengar dari cerita tentang “lumpang gendruwo” di kawasan sirandu –area tegalan di barat daya kampung. Sayangnya, itu bukan rejeki saia. “Lumpang gendruwo” itu adalah pot bunga yang saia ingat sejak SD itu. sialnya lagi, bersama beberapa “tinggalan” lainnya sudah dirawat selamatkan oleh Abahe Rowiyan di PONPES Mambaul Qur’an dekat lapangan Kridhasana Kandri. Lemes, nda… 🙂
Berhubung kolam pengen segera dinikmati, terpaksa saia kubur impian memasang yoni “asli”. Beruntungnya saia punya temen Dwijo Lips, ownner siKlasik, mangunsari yang biasa bikin ornamen-ornamen klasik, relief dll. dari bahan pasir-semen. Yaweslah, pesen dia saja.. 😀
Meski replika, saia coba bikin –setidaknya- mendekati yoni asli. Dimensi menyesuaikan lebar lahan. berhubung browsing gagal nemu data teknis yoni, proporsinya saia dapet dari tracing foto Yoni Candirejo, Tuntang. Kenapa saia pilih yoni yang itu? Karena saia ambil kredit rumah di Perum Candi Asri, yang berlokasi persis di sebelahnya. :p
pancuran | yoni tangguh kamardikan
tak seperti yoni asli yang padat solid, yoni imitasi ini berongga di tengahnya. Agar enteng dan sebagai tempat jalur pipa-pipa. Bagian cerat saia fungsikan sebagai pancuran, tempat jatuh air ke kolam. Pada penampang atas juga ada “lubang kotak” tempat lingga, hanya saja berubah fungsi menjadi “penampung air sementara” dari pipa agar debit air yang jatuh tetap terjaga. Bagian lingganya saia ganti tutup berbentuk padma dengan ornamen hurup “alif” di tengahnya. Saia agak lupa filosofi padma, tapi seingat saia tentang kebajikan. Jadi khusnudzon saja…
tentang huruf alifnya, terinspirasi dari “Sang Alif’ nya Sosro Kartono. Walaupun alasan sebenernya sih soal narsis saja. karena saia anak pertama dan alif adalah huruf pertama hijaiyah. Boleh, kan ya? Hehee..
Dibidang bawah yoni sisi cerat, ada tulisan beraksara Jawa. Jadi tulisan berharga itu tersembunyi di belakang air yang jatuh ke kolam. Saia bayangkan akan ada semacam tirai air yang akan membuat tulisan itu terlihat lamat-lamat. Asyiiik, kan…
Terus, bacaannya apa?
Aahhh, mari mampir sini. kita berlukar cerita, menikmati senja ato sekedar nyeruput kopi 🙂
gambar | mulat sarira hangrasa wani
sekali lagi saya mencoba peruntungan mengirim artikel ke mojok.co dan sekali lagi belum juga memenuhi kriteria mereka. jadi saia posting disini ajah, karena sekali lagi saia masih percaya: seburuk apapun tulisan tetap harus disebarkan. karena begitulah cara manusia membangun peradaban…
Magut sasi September Kapengker, wonten satunggaling akun ing jagad twitter ingkang ngoncéki kapribadénipun Bapa Rocky Gerung (@rockygerung). Tulisan punika mboten badhé njegur wonten sajroning polemik kasebat. Kula saderma kepincut déning satunggaling “rantaman tuitan” (thread) saking Raka Mas Abi Rekso Penggalih (@abirekso) rikala 4 September 2018, ingkang mbrondong @rockygerung adhedasar sesantinipun Ki Hadjar Dewantara ingkang sampun sanget misuwur: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani”
Nitik saking jangkeping asma, Abi Rekso Penggalih, mbok bilih akun @abirekso punika kagunganipun priyayi Jawi. Pramila minangka sasami tiyang Jawi, kula saéstu mongkok lan bombong. Ingatase jaman millenial kados punika, wonten satunggaling muda taruna kadya @abireksa ingkang tasih purun ndhudhuk, ndhudah, ngrembaka’aken ujar-ujaran luhur para pinisepuh ing jagad twitter. Mboten saged dipun sélaki, kaprah ing jaman punika, para muda taruna langkung remen njumput filsafat ndakik-ndakik saking manca nagari.
Éwasemana, wonten sapérangan pratélanipun Abirekso ingkang miturut pemanggih Kula kirang trap nalika mbabar werdinipun sesanti (tegesing tembung) tinggalanipun Ki Hadjar Dewantara punika.
Kanthi kepinginan ndhérék nyengkuyung MOJOK ingkang sampun keraya-raya ndamel rubrik Basa Jawi #rerasan. Ugi amargi jagad twitter punika “jagadipun kaum millenial”, Kula kapecut nulis #rerasan punika, sabisa-bisa minangka ngupaya mernahake werdining ukara “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani” supadya “kaum millenial” pikantuk pangertosan inkang leres sarta mboten nglairaken owah gingsir werdining ukara wonten ing tembe mburi (jaman samangké).
Kita milai saking ukara “Ing Ngarsa Sung Tuladha”. @abirekso mboten njléntréhaken tegesing tembung setunggal mbaka setunggal. Nanging menawi kita waos sesarengan tuitipun babagan punika, kita saged nangkep wosing gati, bilih pemimpin / pamuka punika kedah saged dados Tuladha (suri tauladan) tumrap pangombyongipun. Jangkepipun tuit saged kita waos sesarengan ing ngandhap punika:
“Ing Ngarso Sung Tulodo, kalo @rockygerung emang seorang yang Kalian puja dengan gegap gempita, apakah kalian bisa temukan suri teladannya? Gue, sedih karena kalian terbenam dengan retorika kosong tanpa sedikit pun menemukan aspek suri teladan.”
Rantaman ukara kasebat tasih jumbuh kaliyan werdining tembung “Ing Ngarsa Sung Tuladha” ingkang kirang langkung ateges “mbok bilih Panjenengan lan Kula, sinten kémawon, ingkang ketiban sampur wonten ing pangajeng, saged’a Dados Tuladha becik, panutan, kagem sedaya pandhérékipun”
Kita lajengaken kaliyan ukara “Ing Madya Mangun Karsa”. Ing mriki @abirekso njléntrehaken tegesing tembung kanthi pratélan kados mekaten:
“Ing Madyo Mbangun Karso, adalah orang yg mampu membangun Karso. Apa itu Karso ? Rasa. Artinya, Jangan “Merasa Pandai”, tetapi Pandai Merasa. @rockygerung jika dia pedagog, tidak akan ngotot bicara secara publik dalam situasi yang tidak kondusif.”
Kula kinten kadang Abirekso radi keléntu nalika njléntréhaken pérangan punika. Sepisan, ukaranipun piyambak kedahipun mboten “Ing Madyo Mbangun Karso” nanging “Ing Madya Mangun Karsa”. Sanés “mbangun” nanging “mangun”. Kaping kalihipun, tembung “Karsa” sejatosipun mboten ateges “Rasa” nanging langkung caket werdinipun kaliyan “Kehendak, keinginan, niat, motivasi”. Pramila tembung “Ing Madya Mangun Karsa” kasebat sayektinipun ateges: “Ing satengahing bebrayan ageng, sasaged-saged Panjenengan lan Kula nuwuhaken krenteg ingkang saé/becik marang liyan (sapadha-padha)” Sulih basa Indonesianipun “di tengah-tengah masyarakat mampu menjadi inspirasi, menumbuhkan semangat/motivasi.”
Éwandéné ingkang kasebat ing pratélanipun kadang Abireksa salajengipun kanthi ukara “Jangan Merasa Pandai”, tetapi Pandai Merasa” kula kinten, kadang Abireksa kémutan saking wewaler Jawi ingkang unénipun “Ojo rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa”.
Wasana, perkawis ukara ingkang sanget moncér wonten ing tlatah pendidikan, inggih punika “Tut Wuri Handayani”. Pérangan punika Abireksa nulis mekaten:
“Tut Wuri Handayani, mengikiti dr belakang. Bgmn mungkin @rockygerung mengikuti dia @rockygerung dari belakang ? La wong, kalian di perdaya untuk menyembah berhala. Bro..Sis.., masih mau percaya dengan Nabi palsu, pembawa ajaran berhala.”
Tut wuri pancén saged ateges “mengikuti”. Nanging ing mriki, dalem wastani Abirekso kirang pener lan déréng jangkep njléntréhaken ukara kasebat kanthi tuntas. Werdining ukara “Tutwuri Handayani” menika mboten saderma “tutwuri”; ndhérék, mbébék glondhongan, pasrah bongkokan.” Handayani menika ngandhut teges nyengkuyung; mbudi daya, mbiyantu sabisa-bisa daya upaya kangge mujudaken kasalarasan urip ing bebrayan agung masyarakat.
Pratelan menika mboten amargi kula pangombyong-ipun (follower) @rockygerung , mboten ugi ateges nranyak kewanén nuturi panjenengan sami. Kanthi cumpéning pangertosan, kula namung kepéngén dhérék ndhudhuk, ndhudah, ngrembaka’aken Basa Jawi lan paugeran luhur pinisepah.
Mbok bilih panjenengan tasih gumun, kénging punapa ing mriki kula keraya-raya ngudhari werdining tembung? namung setunggal alesanipun: “Amargi tumraping wanodya, tembung menika langkung wigati tinimbang tembang!”
“Sah?”
“Ssaaaaaahhhhhh!”
*terus bubar, nyangking berkat
“Arsitektur bukan sekadar tempat berteduh, melainkan rumah kesederhanaan yang seharusnya menggairahkan dan membuat kita berpikir lebih jauh.”
(Zaha Hadid-arsitek)
sengaja saia mengutip Zaha Hadid, biar panjenengan percaya kalo saia alumni kelas arsitektur. hehee.. btw, saia mengamini pernyataan itu saat almamater saia beReuni perak awal tahun ini. Setelah 25 tahun, rumah sederhana kami –Arsitek’93 UNDIP- seperti tak berubah. tetap menggairahkan; hangat, guyub rukun dan yang paling penting always #ngekeksaklawase 😀
cungkring | kelompok kuru haru..
nama resminya ’93 ARCH SILVER REUNION. Tapi di judul ini saia menyebutnya Salakawarsa, tahun perak, dalam bahasa sansekerta. Biar nggak keminggris (karena meski KKL ke ostrali, tapi toefl saia sangat-sangat memprihatinkan :p). Juga keinget sketchbook yang –kemudian- menjadi identitas angkatan kami: berlembar-lembar kertas padalarang seukuran Folio yang dijilid hardcover. Warna sampulnya coklat, ada gambar bangunan jawa dan sebuah tulisan “Jatining diri, Gladhining Karsa”. Sangat njawani. Jadi boleh ya mas komting Agam, kalo saia menyebut reuni ini sebagai SALAKAWARSA. *piss*
silve[R]eunion | ngoprek video panitia..
memilih waktu 20-21 Januari 2018, acara reuni ini terkesan tenanan & pol-polan. Saia hanya bisa hormat pada kawan-kawan yang berkenan meluangkan banyak hal demi suksesnya reuni ini. Selama dua hari satu malam itulah, –mengutip dari thriller panitia- kami mencoba memaknai “the story of friendship, the moment to still together & getting stronger, to learn the importance of friendship and happines.” Inilah saatnya melupakan problema dan #ngekeksaklawase
#salakawarsa | diantara kawan-kawan hebat
ada beberapa persinggahan dalam reuni ini: Auditorium Imam Bardjo-UNDIP pleburan, Kota Lama, Halaman Widya Puraya & Kampus Arsitektur-UNDIP tembalang serta puncak acara di Umbul Sidomukti. Saia melewatkan dua destinasi pertama karena terlalu pagi. Maaf, saia dulu termasuk mahasiswa telatan yang jebulnya masih berlanjut hingga 25 tahun kemudian. Hehee..
narsis | pura-pura selfie untuk ambil napas setelah mendaki
saia nyusul –bersama Chink yang nginep di rumah- saat rombongan sudah sampai Halaman Widya Puraya (Gedung Perpus UNDIP Tembalang). Alhamdulillah, akhirnya ketemu lagi dengan banyak kawan yang –dalam banyak hal- tak berubah sikap, tutur kata. Tetap akrab, guyub rukun, ceria,cekikikan dan tetap kekinian. Jadi berasa mahasiswa lagi… 😀
IGstory | gak inget umur… :p
seperti halnya saat saia kuliah dulu ada dokter yang jadi menteri agama, meski lulusan arsitektur, tapi tak semua jadi arsitek. Narasi hidup dan perjalanan waktu membuat kami menggeluti banyak profesi. Dan -saia rasa- itulah yang menjadikan rumah sederhana kami ini menjadi lebih berwarna. Obrolannya lebih cair dan manusiawi; tak sekedar proyek, bangun ruang & konsep-konsepnya. Bukan tentang CAD, rotring, kertas kalkir dan segala téték bengéknya. Njlimet, nda!
malem hari | saatnya kelas kopi
Sounding acaranya sendiri sudah setahun sebelumnya. Itulah kunci keberhasilan reuni: ada cukup waktu untuk ngopyak-opyak peserta. Bukan begitu bu Grezy…:p
bukan dilan | reuni itu berat, kamu gak akan kuat. biar kami saja..
Saia percaya tak mudah mewujudkan reuni yang membahagiakan seperti ini. yang patut lebih diapresiasi adalah upaya untuk bisa “menghadirkan semua kawan seangkatan” tanpa kecuali. Dan angka kehadiran nyaris 70% adalah hasil dari kerja keras itu. Salut temans…
reuni | Kekancan sakteruse, paseduluran sak guyube..
Demikianlah, dua hari kami bernostalgi. Kekancan sakteruse, paseduluran sak guyube, guyub sak rukune dan ngekek saklawase. Dan dari reuni ini, saia harus kembali percaya bahwa: silaturahmi itu memanjangkan umur dan menambah rejeki.
ps: semua gambar dari WAG & fb yang keliatan saia. 😀
tedjo-L201938366
studio|kiki over there
Jika panjénéngan baca blog ini dan terdengar musik yang mengiringi, semoga itu tidak mengurangi kenyamanan. Semata-mata karena saia pengen pamér kalo bisa bikin lagu. Maapkeun. Hehee…
Judulnya Ujung Taman Seruni. Lagu ini bagi saia pribadi sangat menguras emosi. Bayangkan (gak harus paké merem), meski bisa nggambar, saia –swear- gak bisa nyanyi.
Dulu, waktu masih kid jaman SMP, pernah sekali kepilih jadi tim paduan suara dari sekolahan untuk upacara tujuhbelasan di kecamatan. Jadi berlatihlah saia nyanyi seminggu dua kali. Aman, lancar terkendali di awalnya. Sampai pada latihan yang kesekian, ketika tanggalan sudah kian dekat ke 17 Agustus, tiba-tiba Mr. Darno –guru bahasa Indonesia+kesenian berambut gondrong itu- mendekati saia yang berdiri di barisan koor paling belakang. Menempelkan jari telunjuk di bibir beliyo yang terkatup sambil njéwér kuping saia. Shut up!
Alhamdulillah, sejak saat itu saia jadi tahu kalo dianugerahi suara merdu fals. Tapi kalo klean penasaran pengen denger suara ancur-ancuran saia, bolehlah dinimati unggahan lawas saia di youtube ini. Tapi tolong, siapkan dulu tisu atau kantong kresek jika perlu. namun jika muntah-muntah berlanjut, hubungi dokter. :p
uts|draft awal lagu
Saia berhutang terimakasih pada Ekhan Rakato –my workmate di semarang- yang memungkinkan draft awal lagu Ujung Taman Seruni bisa maujud. Di kamar kontrakannya, akhirnya rengeng-rengeng saia disenandungkan, digitarin dan direkam manual. hanya dengan sebuah hape jadul merk samsung. Thanks alot for all of this, bro!
Bisa bikin lagu –meski biasa-biasa aja dan mungkin ményé-ményé gitu- sungguh diluar mimpi. Tak pernah kepikiran babar blas! Selain karena gak bisa nyanyi, saia juga tak satupun menguasai alat musik.
Pernah pada satu masa ketika saia jatuh cinta, dan –entah kenapa- terus kepikiran pengen bisa maen gitar. sepertinya, jatuh cinta sambil main gitar itu keren banget gitu. waktu itu…
Meski tak cerita kalo lagi jatuh cinta, tapi Bapak -pulang kantor- sudah bawain gitar dari Pasar Johar. Saia sungguh-sungguh belajar memainkannya, hingga seluruh jari melepuh. Semua kunci telah hapal. Tapi begitu digenjréng, coba mainin kord lagu: semua kunci jadi berantakan. tak keluar harmoni nada, enggak bunyi. blass, ora muni!
Hingga gitar itu raib entah kemana, saia tetep gak bisa nggitar. Sampé sekarang. Kesimpulannya; feel saia gak nyampé ke musik. Berbahagialah orang-orang bertalenta musik. merekalah pembawa suara indah dari kegaiban surga, hingga ke kuping kita…
Saia jelas putus asa. meski masih tetap jatuh cinta.. #eh
Awalnya, Ujung Taman Seruni adalah sebuah puisi. Ada di blog ini juga kok, diunggah 2012 silam, saat sajak pendek itu baru tercipta. saia kasih linknya ya, biar gampang nyari kalo mau baca-baca. 😀
uts|sebuah puisi
Dan kini, di Jekartah, kota dengan banyak ‘kebisingan’ yang tak kunjung reda. Di sesela gaweyan, saia ketemu kawan lama –Agus Chink- yang mengenalkan saia pada kawan lamanya: Bandi Noorha. Beliyo bisa nyanyi, bisa main musik pula. klop deh!
pas rekaman, di studio ketemunya KIKI yang mengupayakan rekayasa digitalnya. sstt, anak muda ini ternyata gitaris “JOY MORON” band indie jakarta yang udah manggung kemana-mana. Coba cari di youtube, lumayan banyak jejaknya, 😀
uts|versi now!
Buat saia ini anugerah. karena berawal dari sekedar pengen agar rengeng-rengeng saia bisa jadi kayak lagu beneran: dinyanyiin dengan baik, direkam di studio, udah gitu aja. But, its all beyond my expectation…
Alhamdulillah, setelah sekian waktu, puisi itu menjelma lagu. Saia jadi cukup pede buat share Ujung Taman Seruni di Youtube, Soundcloud, Reverbnation dan masang di blog ini. Hehee..
sepertinya, tanpa harus teriak takbir dan viralkan! semoga panjénéngan berkenan denger, unduh atau share karya semenjana ini.
and let the song accompany you…
nuwun,
buku & kopi | kopine kuwi sasetan asli, maz!
Bertahun silam –saat banyak waktu selo buat nonton infotainment– saia kerap jengah tiap ada artis launching lagu (karya) baru selalu muncul pertanyaan “ini cerita pribadi/kisah nyata atau bukan?” Kenapa harus muncul pertanyaan itu? Padahal dari guru bahasa indonesia kita telah lama diajarkan bahwa selalu ada unsur intrinsik dan ekstrinsik yang melatari sebuah karya. Jadi bagi saia itu sebentuk kepo, bukan pertanyaan.
Juga ketika kita memutuskan membeli buku. Apapun itu, unsur intrinsik dan ekstrinsik pasti berkelindan. Sehingga kita rela memutasi sejumlah nilai dari saldo rekening tabungan. Atas nama itu pula, saia memesan CINTA TAK PERNAH TEPAT WAKTU nya mas Puthut EA dari @kedaiboekoe, beberapa waktu lalu.
Buku terbitan MOJOK bersampul biru itu -saia baru tahu kemudian- bukanlah karya baru, sudah cetakan ketiga. bahkan nama mas PUTHUT EA yang sejatinya sudah kondhang kaonang-onang itu pun baru saia kenal setelah berbai’at menjadi jamaah mojokiyah di twitterland. maafkan kelancangan ini kepala suku. karena meski hobi baca, tapi membaca novel -terus terang- saia tak biasa. paling banter juga baca nick carter atau stensilan. duluuu, pas jaman sma…
*ups… skip, skip, skippp
belum juga membuka cover muka, judul novel ini menggiring saia ber-purbasangka bahwa sekujur cerita akan melulu berkisah tentang cinta yang tak mungkin purna bahagia dari sepasang tokohnya: entah karena alasan apa, atau dengan problematika macam mana.
Yang jelas saia harus kecewa (malu diri, tepatnya) setelah membaca keseluruhannya. Premis awal itu keliru. Saia tergesa dan kurang teliti membaca judulnya. Tengoklah lagi barisan kata-kata provokatif itu: CINTA TAK PERNAH TEPAT WAKTU!
Yups… tak pernah tepat waktu, bukan “tak tepat waktu”. Artinya berkali-kali atau minimal lebih dari sekali tidak tepat waktu. Buku ini (eh, novel ding..) semacam etalase sosok “Aku” yang telah bermetamorfosa dari masa lalu penuh kenaifan menjadi “seseorang”. Ini kotak kaca tempat melihat Aku yang “muda, segar, penuh percaya diri dan merdeka semerdeka-merdekanya..”
Mas Puthut seperti hendak menceritakan tentang “Aku” yang Lelananging Jagad; yang masih tetap disayang bahkan ketika meninggalkan. Ibarat pemain bola, Aku adalah bintang lapangan dengan skill di atas rata-rata. Gocekannya dahsyat, assist-nya sempurna. Tapi dibalik itu, selalu saja ada hal yang membuatnya tak bisa mencetak gol, bahkan ketika sudah tinggal berhadapan dengan kiper. Entahlah, ini kutukan atau kesialan seorang bintang! Paradoks.
Sebagai buku tentang Arjuna zaman now, ada banyak wanita dengan banyak varian cerita di novel ini. Mulai dari Sarah, Kania, Lia dan beberapa yang tanpa nama (atau saia lupa?). Meski begitu, Bab demi bab novel ini gak sekedar roman tentang proses “bribikan” tapi –saia kira- mas Puthut sempurna memblejeti laki-laki. Jadi bacalah novel ini wahai para wanita. Karena kamu akan mengerti bahwa sebenarnya “begitulah laki-laki” dan kau akan tahu rerahasia & titik rapuh para pria yang tak mugkin pernah diakuinya.
Sebagai orang yang pernah punya cita-cita jadi penulis –tapi malah jadi tukang gambar- senang ada banyak info tentang dunia kepenulisan yang dibagi mas Puthut di buku ini. Tentang istilah “pembunuh bayaran”, sedikit gambaran proses kreatif dan keguyuban komunitasnya. Ahh, jadi inget pacar lama… eh, cita-cita lama!
Juga penyesalan tokoh “Aku” sebagai aktivis pergerakan. It’s nice info buat saia untuk lebih berdamai melihat “kasunyatan”. Saia sekolah saat demo belum hal yang lazim dilakukan. Teringat, kalo ada demo –kebanyakan dari “fakultas sosial”- hanya diikuti beberapa mahasiswa dengan tulisan sederhana pada kertas karton manila. Mereka melintas di antara gedung-gedung fakultas sambil meneriakkan tuntutannya, tak terlalu gempita. Dan saia, hanya melihat dari balik jendela kelas. Ketika euforia ’98 saia hanya bagian penggembira dari gelombang yang mungkin –diantaranya- dipantik oleh jaringan “Aku” yang diceritakan dalam novel ini. Dalam obrolan ringan di kamar kos seorang kawan, selepas jadi cameo di barisan paling belakang demo akbar waktu itu saia mengatakan “Mungkin ini tidak akan menjadikan lebih baik. Tapi keberanian untuk berubah itu yang harus dibudayakan…”
* skip, skip, skippp
Kembali ke cinta saja yaa, karena novel ini tentang cinta. Hehee..
Setelah menghatamkan novel ini -entah mengapa- saia kok makin percaya bahwa laki-laki hanya jatuh cinta sekali. Selebihnya; sekedar eksplorasi, memupus status jomblo atau hanya menjalani hubungan (yang keterusan atau hingga kepentok komitmen) dan apapun sebutan lain semacam itu. Dan ketika ada sedikit saja panggilan dari masa lalu, seperti ketika tiba-tiba Lia menelpon di ujung buku… senandung hati akan tetap menyanyikan lagu lama “yang tak pernah berubah, meski cuma satu nada…”
Btw mas, perempuan dari masa lalu dalam Percakapan di Taman itu, Lia bukan??
Eh, ini kepo…bukan pertanyaan. 😀