Karsten- Soembinah: kisah cinta 2 benua… 🙂
Herman Thomas Karsten adalah tokoh yang telah berjasa mengubah wajah kota-kota di Hindia Belanda menjadi “lebih beradab” sebagaimana dapat kita nikmati hingga saat ini. Pada masanya, Ia banyak terlibat dalam perencanaan kota dan arsitektur di Indonesia.
Atas undangan Henri Maclaine-Pont kanca kuliahnya di Delft, Karsten datang ke Semarang pada 1914 dan mulai merintis karir sebagai penasehat perencanaan di kota ini. Selanjutnya ia menjadi penasehat perencanaan kota Jakarta, Bandung, Magelang, Malang, Bogor, Madiun Cirebon, Jatinegara, Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Palembang, Padang, Medan dan Banjarmasin.
interior Pasar Johar 1943: struktur cendawannya yang khas
Sebagai arsitek, karya-karyanya tersebar di berbagai kota. Di semarang, Karsten mendesain salah satu ikon semarang saat ini, Pasar Johar. Konon pasar ini adalah pasar terbesar dan tercantik se asia tenggara pada jamannya. Meskipun “wong londo”, desain Karsten selalu berpihak pada kepentingan wong cilik. Saat merancang pasar misalnya: demi meringankan beban kuli gendong,Karsten meninggikan lantai los pasar, agar para kuli gendong itu tidak perlu jongkok waktu mengangkut / menurunkan barang.
Dalam perencanaan wilayah / kota Karsten berupaya untuk menyatukan masyarakat kolonial, memberi kesempatan pada semua penduduk tanpa melihat latarbelakang etnisnya. Mereka menikmati lingkungan sosial dan budaya yang sama, sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial masing-masing. Menurutnya dalam masyarakat Indonesia modern bukan faktor etnis tapi faktor sosial-ekonomi yang menjadi penentu. Suatu lingkungan yang terencana akan memungkinkan penduduk hidupbersama membangun suatu masyarakat multi-kultural.
taman diponegoro Semarang 2012: warisan Karsten nan asri…
Dalam keyakinan Karsten, kota adalah suatu organisme hidup yang terus bertumbuh. Dalam rencana pengembangan kota, ia selalu menganggap penting keberadaan taman-taman kota serta ruang terbuka, dua hal yang kian terabaikan saat ini. Filosofi ini melahirkan gaya arsitektur ‘Indisch’ yang populer pada masa pra-kemerdekaan.
Gaya khas Karsten adalah kepeduliannya terhadap lingkungan hidup dan menghargai nilai kemanusiaan. Dia tidak pernah melupakan kepentingan kalangan berpenghasilan rendah, sesuatu yang jarang ditemui pada orang-orang Belanda masa itu. Karsten mengkritik koleganya yang acap kali lebih berkonsep “menaruh Eropa di Jawa”.
Bagi Karsten: Jawa adalah Jawa, bukan Belanda!
Yupp…
Karsten sangat mencintai negeri ini. Ia bersahabat baik dengan Mangkunegoro VII dan menikahi wanita pribumi, Soembinah. Dia juga bergabung dalam Instituut de Java, sebuah perkumpulan yang peduli budaya Jawa.
Di rumahnya terdapat seperangkat gamelan yang rutin dimainkan. Pada hari-hari penting keluarga Karsten juga mengadakan slametan seperti layaknya keluarga Jawa. Hal yang justru mulai kita tinggalkan, sebagai wong jawa.
masjid Al-Wustho Mangkunegaran: konon di sebuah masjid pula Karsten menikah..
Secara politis, Karsten adalah sangat pro-kemerdekaan, suatu sikap yang hanya diambil oleh sebagian kecil kalangan keturunan Eropa (Indo) pada masanya. Malangnya, ia ditangkap oleh tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942 sampai ia meninggal di Kamp Interniran Cimahi pada tahun 1945. Cita-citanya untuk meninggal di bumi Indonesia tercapai walau harus dalam situasi yang tragis.
Arsitek yang Hobi Nulis… 😉
Mungkin seperti Soekarno, Romo Mangun Wijaya atau Prof. Eko Budihardjo, selain hobi nggambar Karsten juga gemar menulis.. 😀
Sejak 1930 Karsten mulai mencatat gagasan-gagasannya dalam buku harian. Tidak melulu tentang arsitektur dan tata kota, dalam diary-nya itu Karsten juga mencatat pemikiran-pemikiran para filsuf Eropa, perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, komunisme di Rusia dan fasisme di Eropa. Ia juga menuliskan pandangannya tentang agama-agama dan filsafat Timur. Catatan terakhir Karsten ditulis pada 21 April 1945, hanya sesaat sebelum ia meninggal. Karena sudah terlalu lemah dan tidak mampu menulis, ia meminta bantuan dokternya yang juga sesama tahanan untuk mencatat kata-kata terakhirnya:
“Indonesia bermoelialah, Indonesia bersatoelah ….”
*foto & beberapa nukilan dari sejarahsemarang.wordpress.com